Beberapa hari terakhir, saya sering heran sekaligus geli melihat siswa-siswa baru yang pulang dari sekolah mereka. Bagaimana tidak, alih-alih berseragam rapi dan elegan, mereka malah menggunakan seragam yang aneh-aneh, dan penuh dengan aksesoris yang lucu-lucu. Sekilas saja sudah dapat diduga bahwa remaja yang masih unyu-unyu itu sedang menjalani masa orientasi siswa (MOS). Dimulai tanggal 15 Juli 2013, selepas liburan kenaikan kelas, sekolah memang mengadakan MOS, sebagai ajang perkenalan siswa baru terhadap lingkungan sekolahnya. Seperti biasa, bukan siswa saja yang disibukkan dengan MOS, orang tua siswa pun ikut disibukkan mengingat tugas-tugas yang bejibun. Dan, seperti yang sudah-sudah, selalu saja ada seragam dan aksesoris lucu yang dikenakan oleh para siswa baru. Maklum, sudah tradisi…..
Tradisi
Lucunya, tidak semua pelaksana (panitia) dan target MOS (siswa baru) mengerti apa maksud dan tujuan dari tradisi yang seakan sudah mendarah daging itu. Para siswa baru yang menjadi target “perploncoan” rata-rata (atau sebagian), tidak mengerti mengapa mereka diminta berpakaian, berkata, bahkan bersikap “aneh bin ajaib” saat MOS. Yang mereka tahu, ini adalah perintah senior, dan perintah senior hukumnya wajib dilaksanakan. Dan, mereka pun membetah-betahkan diri untuk menjalani semua itu.
Yang lebih lucu lagi, kadang bahkan panitia penyelenggara MOS, yang notabene adalah siswa senior, pun tidak mengerti makna tugas-tugas dan “penggemblengan” yang mereka lakukan. (walaupun, saya yakin, yang mengerti tentang makna MOS juga ada :) . Bagi senior yang tidak mengerti, maka mereka mengikuti kegiatan tahunan tersebut tidak lebih dari sekedar “ikut-ikutan”, karena memang itu tradisinya. Saya jadi ingat seorang teman yang sangat menanti saat-saat MOS, karena ingin “membalas dendam” pada junior-junior mereka, sebagaimana yang dilakukan senior mereka pada mereka dulu.
Karena tidak semua junior dan senior mengerti makna dan tujuan MOS, maka akhirnya menjadi lingkaran setan. Si junior yang tidak mengerti, nantinya akan menjadi senior yang tidak mengerti pula. Dan dia akan mengulangi apa yang dilakukan seniornya dulu. Jadilah siklus ketidakmengertian yang tidak pernah putus. Akibatnya, tujuan dan makna MOS pun menjadi “sekedar” perploncoan dan penanaman doktrin “aku senior dan kamu junior” yang mengatas namakan tradisi.
Harus dipahami
Lalu, apakah salah jika saat MOS siswa baru “dikerjai” dengan diminta berpakaian dan berperilaku lucu? Sebenarnya tidak juga. Semua perploncoan tersebut sah-sah saja dan mengandung hikmah yang sangat besar. Kekompakan, kebersamaan, kerjasama dalam keadaan susah dan senang, hingga kebanggaan teradap almamater dapat tumbuh saat MOS. Tentu, semua nilai itu dapat terwujud jika semua pihak, baik siswa baru maupun senior, benar-benar sadar dan mengerti tentang makna dan tujuan MOS.
Siswa baru harus dibuat mengerti mengapa serta apa manfaat dan tujuan mereka diminta melakukan semua tugas yang diberikan. Walaupun terkesan konyol dan tidak mengenakkan, jika dirasa bermanfaat, silakan diteruskan. Sebaliknya, jika kegiatannya menyenangkan, namun ternyata tidak bermakna besar dalam mencapai tujuan MOS, maka dibuang saja. (secara pribadi, saya sampai sekarang masih mempertanyakan tugas membuat surat cinta yang ditujukan pada senior / pinitia. Penting gak sih?-______-). Dengan begitu, insyaalloh mereka akan melakukan dengan sepenuh hati, tanpa merasa terpaksa. Inilah yang disebut joyful learning. Hilangkan juga kegiatan-kegiatan yang hanya bermaksud mempermalukan, namun tidak ada hikmah yang dapat diambil selain doktrin “aku senior, kamu junior”, lalu ganti dengan lain yang lebih “bermartabat”.
Contohnya, alih-alih memaksa junior memakai seragam yang aneh-aneh yang ditentukan senior (yang tentu saja semakin memperkuat doktrin dikotomi junior dan senior), biarlah para junior menentukan seragam dan aksesoris mereka sendiri. Senior hanya memberi kriteria yang tidak kaku. Dengan begitu, siswa baru dilatih untuk bekerjasama, dan membuat identitas mereka sendiri, yang tetap sesuai tujuan MOS. Siswa baru juga diajak untuk kompak dan bertanggung jawab dengan apa yang telah mereka putuskan sendiri. Dan masih banyak contoh-contoh lain.
Keteladanan
Tentu saja, bukan hanya siswa baru yang perlu belajar, senior pun harus belajar, yaitu belajar untuk menjadi teladan yang baik. Untuk membuat siswa baru mengerti dengan makna dan tujuan MOS, tentu senior-senior juga harus mengerti dulu. Berikan pembekalan yang cukup pada panitia (senior) yang terlibat. Bila perlu, mereka harus merasakan dulu tugas-tugas MOS yang akan diberikan, sehingga benar-benar mengerti mengapa dan apa manfaatnya, tidak sekedar ikut-ikutan tradisi, apalagi untuk membalas dendam. Senior pun perlu untuk menjadi teladan yang baik, tidak sekedar marah-marah pada junior tanpa sebab yang jelas, hanya untuk menunjukkan bahwa dia senior yang “wajib” dipatuhi. Artinya, jika sang senior membentak juniornya untuk disipilin, terlebih dahulu dia harus mendisiplinkan diri. Dengan begitu, dia menjadi tokoh yang disegani, bukan ditakuti. Alangkah kurang eloknya jika sang penyeru kedisiplinan, malah sebenarnya adalah orang yang suka bolos, karena perilakulah yang akan ditiru lebih banyak, bukan kata-katanya. (jadi ingat salah satu senior yang dulu sering membentak, tapi ternyata sering bolos :) .
Jika kedua pihak sama-sama mengerti dan satu visi tentang MOS, insyaalloh tujuan MOS untuk menumbuhka kedisiplinan, rasa hormat, kebersamaan, serta tujuan mulia lainnya dapat benar-benar tercapai. Sebagai bonusnya, dikotomi junior dan senior akan pudar, berganti satu identitas, yaitu siswa SMA X, atau Y, atau apa lah…., tanpa mengurangi rasa hormat satu sama lain :) makasih dah mau baca, hehehe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar