News Update :
Home » » Salam Ayah Untuk Negeri

Salam Ayah Untuk Negeri

Sabtu, 29 Oktober 2011 21.21

>Indonesia Raya… Merdeka Merdeka… Tanahku Negeriku yang kucinta… “Indonesia Raya” berkumandang lirih dari sosok renta yang berusaha menyangga satu kakinya yang cacat dengan tongkat kayu buatannya sendiri. Linangan air matanya tak menyurutkan merah putih untuk tetap berkibar dengan keangkuhannya di langit sore. Membawanya kembali ke masa lalu yang membuatnya mengejar tempat tertinggi yang disebut kebanggaan dalam membela Negerinya. Haru.

Suasana haru itu terbuyarkan seketika ketika seorang belia yang dipanggilnya Anak menurunkan tangan rentanya dari hormatnya pada Sang Saka.

“Ayah tau, apa yang Ia lakukan pada Ayah!!!…” bentak gadis itu sambil men-judge Merah Putih yang terlanjur berkibar gagah dengan satu tunjukan. Sosok renta itu hanya bisa mengizinkan air matanya berkuasa karena semua itu memang benar. Masa depannya suram seketika saat ledakan meriam 60 tahun lalu memaksa satu kakinya diamputasi, menjadikannya seorang pahlawan dulu dan seorang veteran tak dianggap sekarang. Tapi rasa cintanya pada Negerinya tak ikut hilang bersama penyesalannya dulu. Tragedi itu membuat Sang Saka semakin kuat berkibar dalam hatinya. Raut penyesalannya kembali menyeruak dan tangis tanpa suaranya semakin deras saat Gadis yang Ia panggil anak itu menurunkan Merah Putih dari singgasana kegagahan lalu membuangnya ke tanah yang basah karena hujan semalam. Sosok renta itu hanya bisa pasrah dan membiarkan putrinya berlalu dengan amarah. Susah payah Ia langkahkan satu kakinya mencoba memungut Merah Putih yang ternoda oleh rasa benci seorang anak bangsa. Ia tak benci anaknya, Ia juga tak menyalahkan negerinya… Entah.

Pagi itu, televisi menyiarkan berita duka dari Yogyakarta yang dihujani amuk Merapi tadi malam. Para korban berjatuhan karena banyak yang tak sempat menyelamatkan diri. Sekolah sontak ribut dengan berita duka dari kota sebelah. Teman-teman OSIS merencanakan untuk Bakti Sosial ke Yogyakarta dan sebagai ketua, Mira terpaksa ikut. “Tapi inget, aku ikut bukan karena aku cinta Indonesia, tapi karena aku peduli pada mereka” Penjelasan tanpa ada yang menanyakan. -_-

Hari itu, sedikit lebih pagi Mira terjaga dari lelap. Ia siapkan perbekalannya untuk ke Yogya pagi itu juga. Tak dijumpainya Sang Ayah di kursi bambu depan rumah seperti biasanya. Ia dapati ayahnya masih tertidur lelap di bilik yang tersekat bambu yang mereka sebut itu kamar. Ia hampiri ayahnya untuk berpamitan, tapi urung karena tak tega membangunkan ayahnya. Dua jam kemudian, Rombongan sekolah Mira dari Semarang memasuki kawasan redup terselimuti abu vulkanik merapi. Yogyakarta. Para pahlawan sosial beraksi. Hari demi hari mereka lewati dengan tanpa henti menolong para korban sekuat tenaga. Sudah tiga hari ini mereka berkejar-kejaran dengan Wedhus Gembel yang hampir setiap hari turun menghantui warga sekitar Merapi. Itu semua menjadi biasa saat mengingat derita para korban lebih dari ini. Hari itu hari Senin. Langit sedikit lebih cerah di lereng Merapi 20 km dari puncak. Mira dan kawan-kawan mencoba menyusuri sekolah-sekolah yang hancur berkeping-keping terbakar abu panas Merapi. Sampai suatu waktu, Nyanyian Indonesia Raya mengundang mereka untuk mendekat. Raut haru terpancar di wajah teman-teman Mira saat melihat sekitar lima anak kecil berpakaian bukan seragam sedang khidmat menghormat ke arah Merah Putih. Dua diantara mereka mengibarkan dan tiga diantaranya berdiri dengan posisi hormat dan seorang bapak muda yang mungkin gurunya berdiri di samping mereka. Mira dan kawan-kawannya hanya tertegun melihat pemandangan itu. Sampai akhirnya Indonesia Raya selesai dikumandangkan. Mira dengan langkah srantanan langsung menghampiri mereka dan bertanya mengapa. Rasa herannya memuncak kenapa masih ada orang yang cinta pada Negeri yang sedari dulu menjadi musuh di hatinya.. Dengan nada lugu dan wajah polos, mereka menjawab, “Kata Pak Guru, Indonesia yang membuat kita satu…” Ujar seorang gadis kecil dengan lugunya. “Pak Guru juga pernah bilang, Indonesialah yang menyatukan kami yang berbeda-beda dari bermacam-macam suku…” Tambah teman kecil sebelahnya. “Apa kalian ga pernah berfikir, karena lambannya Indonesia kalian jadi seperti ini…??” Lima anak tadi tak bisa menjawab pertanyaan aneh dari Mira barusan. “Ini bukan salah negeri kita!!…” Sahut Pak Guru yang sedari tadi hanya diam. Kali ini Mira yang tertegun. “Negeri kita tak pernah salah di setiap masalah, hanya oknum tak bertanggung jawab yang mengatas namakan negeri kita sebagai kambing hitam, jadi jangan pernah menyalahkan negeri kita…” Tambah guru muda itu dengan senyum bijaknya, lalu membawa murid-muridnya pergi. Sebuah pelajaran berharga tentang rasa cinta pada negeri untuk Mira. Sepanjang perjalanan pulang ke Semarang wajah Sang Ayah tiba-tiba terbayang. Muncul rasa bersalah yang sangat pada Ayah dan pada Negerinya. Mengapa selama ini Ia hanya menyalahkan tanpa berfikir siapa yang sebenarnya bersalah.

Semarang terasa hangat menyambut senyum semangat dari paras cantik Mira. Ia harap bisa bersujud memohon maaf dari ayahnya. Memeluknya dengan rasa yang sama, rasa cinta pada Negeri. Tapi tiba-tiba suram memadamkan senyuman Mira. Bendera putih berpalang merah bertahta di depan rumahnya. Dan seorang wanita sedikit gemuk tetangganya, tiba-tiba memeluknya tanpa berucap. Ayah… Lirih. Pedih. Dan apa…

Untuk putriku tersayang,
Maaf karena ayah tak pernah bisa mengajarimu untuk cinta pada Negeri… Ayah hanya bisa diam saat anak ayah sendiri memaki Negerinya sendiri… Tapi, kamu perlu tau satu hal, Hanya rasa kasih tanpa pernah membedakanlah yang selalu diajarkan Negeri kita… Dan Ayah yakin, suaru hari kau akan melihat cinta itu dengan hatimu… Dan hatimu akan membiarkan merah putih berkobar di ruang paling indah…

-Salam Perjuangan-

Ayah

Tinta hitam di atas kertas buram itu semakin lusuh oleh air mata. Aku Cinta Negeri Kita…

Itu ucapan paling diharapkan oleh ayahnya, tapi tak sekalipun pernah didengar… Tapi tak ada kata terlambat untuk mencintai negeri kita…
YOU MIGHT ALSO LIKE

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright LDII Perak - Surabaya Utara 2009 -2011 | Design by Rizky Oktavian